Review singkat: Blue Ocean Strategy

Blue Ocean Strategy

How to Create Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevant

author: W. Chan Kim & Renee Mauborgne


Blue Ocean Strategy:

  • Apa yang dimaksud dengan samudra biru (blue ocean)?

–        Samudra biru adalah istilah untuk  ruang pasar yang belum terjelajahi, ruang pasar yang belum dikenal, di dalamnya terdapat peluang-peluang pertumbuhan yang cepat dan penciptaan permintaan.

–        Samudra biru bisa diciptakan benar-benar diluar industri yang sudah ada, dapat juga dilakukan dari dalam samudra merah dengan cara memperluas batasan-batasan industri yang sudah ada.

  • Konsep dasar Blue Ocean Strategy adalah Value Innovation. Bagaimana kita mengalihkan diri dari persaingan diRedOceanyang sangat kompetitive dan berdarah, menuju padaBlueOceanyang membuat kompetisi jadi tidak relevan lagi.
  • Value Innovation tidak selalu berupa inovasi teknologi, tetapi berupa inovasi untuk peningkatan keuntungan pelanggan yang disesuaikan dengan harga jual dan biaya.
Red Ocean Strategy Blue Ocean Strategy
  • Bersaing pada market space yang sama
  • Mengalahkan kompetitor yang sudah ada
  • Ekploitasi demand yang sudah ada
  • Mengikuti Value-Cost trade-off
  • Aliansi sistem dan aktifitas dengan pilihan strategis antara differensiasi atau low cost
  • Menciptakan market space yang baru
  • Kompetitor sudah tidak relevan lagi
  • Menciptakan dan menangkap demand baru
  • Memecahkan/mendobrak value-cost trade- off
  • Aliansi sistem dan aktifitas mengejar differensiasi baru dan lowcost

Blue Ocean Strategy Principles:

  • Prinsip Formulasi Strategi:
  • Merubah batas market, menciptakan market space baru. (memudahkan pencarian)
  • Fokus pada “big picture” (planning)
  • Menjangkau diluar market demand yang ada (pengembangan)
  • Strategic sequence yang benar (pembentukan business model)
  • Prinsip Eksekusi:
  • Atasi hambatan didalam organisasi
  • Satukan eksekusi dalam strategi

 

BOS Four Actions Framework

  • Dalam membentuk Blue Ocean Strategy ada 4 kunci action yang harus dipilih supaya lepas dari persaingan dan memberi nilai tambah luar biasa.
  1. Eliminate: Faktor apa yang dianggap umum dalam industry ini yang perlu dihilangkan sama sekali?
  2.  Reduce: Faktor apa yang menjadi standard industry ini perlu untuk sangat dikurangi sampai dibawah standard?
  3. Raise: Faktor apa yang perlu dinaikkan dengan banyak diatas standar industry?
  4. Create: Faktor baru apa yang perlu diciptakan untuk menciptakan Value Innovation yang sangat menarik pelanggan dan tidak ada pada standard industry ini?

Strategy Canvas:

  • Strategy canvas adalah framework untuk menganalisa industri, pemain terbaik, dan kompetitor kita dengan menjabarkan elemen2 penting dari persaingan.
  • Pemahaman akan produk, service, delivery, dan kelebihan/ kekurangan dari masing2 elemen penting dalam bisnis ini akan berguna untuk membangun Blue Ocean Strategy baru yang berbeda dengan persaingan padaRedOcean.
  • Harus diperhatikan ketajaman memilih apa saja yang perlu diperhatikan dalam Strategy Canvas ini. Misalkan dalam industri sirkus: Pemain bintang, hewan, lelucon, panggung, harga… dan lain2. Strategy canvas menggambarkan industri, pemain terbaik, dan apa kesempatan kita untuk menjadi berbeda.

The Strategic Sequence:

  • Dalam menciptakan Blue Ocean Strategy ada 4 urutan yang harus diikuti secara benar:
  1. Buyer Utility: Kunci utama dari BOS adalah adanya nilai keuntungan/ kepuasan luar biasa yang diciptakan.
  2. Price: Apakah harga yang anda tawarkan dengan adanya nilai tersebut masih dapat dijangkau oleh target pembeli?
  3. Cost: Dapatkah kita mencapai target biaya untuk dapat menghasilkan profit pada target harga tersebut?
  4. Adoption: Untuk menjalankan strategi ini apakah kita dapat melewati hambatan2 yang ada? Adaptasi apa saja baik internal maupun external yang harus kita lakukan?
  • Urutan ini harus dimulai dari nomor 1, bila tidak tepat solusinya, jangan masuk dahulu ke nomor berikutnya, dan seterusnya.

Menentukan pilihan strategi

  • Dalam penentuan sebuah strategi, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Dalam keterbatasan kita, kita harus menentukan apa yang perlu dan apa yang tidak. Berdasarkan pilihan2 ini lah kita membentuk strategi kita.
  • Sebuah perusahaan, devisi, ataupun personal punya sumber daya (waktu, tenaga, brand, finansial, koneksi, proses, dll) yang sangat terbatas; jadi pilihan yang satu akan menimbulkan konsekwensi pada hal lainnya. Pilihan yang tepat jadi kunci. Service yang super baik akan membuat biaya tinggi dan harga mahal, apa benar klien kita menginginkan service yang sangat baik?
  • Kita harus menciptakan Value besar dan Lowcost pada saat yang bersamaan.

Blue Ocean Strategy Summary:

  1. Keluar dari persainganRedOceanyang ber-darah2 dan pindahlah pada Blue Ocean yang menguntungkan.
  2. Fokus pada Value Innovation, peningkatan nilai tambah luar biasa pada pelanggan.
  3. Keluar dari kebiasaan berpikir industri tersebut dengan menciptakan Market Space yang baru.
  4. Gunakan Strategy Canvas dan 4 Action Framework untuk menciptakan Value dan Lowcost secara bersamaan.
  5. Pemikiran haruslah dari Keuntungan pelanggan, baru ke harga, biaya, dan bagaimana mengadaptasikan keadaan yang dihadapi, baik internal maupun external.

References

W. Chan Kim, Renée Mauborgne, Blue Ocean Strategy, 2005,HavardBusinessSchool Press.

Review by Karmagatri Dwipayana

Cantik ga perlu mahal :)

Bingung, hilaf, laper mata…. pasti ini yang seringkali dialami oleh banyak teman-teman para womenizer disaat melihat berbagai kosmetik dengan review yang muluk-muluk. weeeitz….tunggu dulu…hati-hati jangan mudah teriming-imingi oleh produk-produk dengan harga selangit dan janji-janji surga. lebih baik mencari informasi sebanyak mungkin sebelum friends memutuskan untuk membeli produk tertentu dan tetap berhati-hati terhadap maraknya produk tiruan. alih-alih cantik malah musibah yang melanda.

berikut beberapa tips yang bisa friends perhatikan:

1. Perhatikan produksi mana produk yang akan friends beli. ini penting banget loh, karena bisa jadi produk dengan janji selangit tenyata merupakan produk yang kurang jelas asal muasal produksinya. selalu pastikan bahwa produk yang dibeli merupakan produk yang diproduksi oleh produsen yang terpercaya

2. Selalu waspadai hasil yang instant.  produk yang memiliki kandungan yang aman cenderung memerlukan proses kerja yang memakan waktu yang cukup panjang. so, friends perlu alert jika ada produk terutama pencerah wajah/kulit yang memberikan efek drastis terhadap kulit. jika sudah terlanjur memakainya, dan sudah mendapatkan hasil yang baik, sebaiknya hindari pemakaian jangka panjang.

3. Tidak pernah ada kulit sebening kristal (tanpa intervensi medis). hehe… ini dia nich biasanya friends banyak yang tergoda melihat foto dari para model iklan produk yang tampak cling-cling, bening seperti kristal, kulit halus mulus tanpa pori-pori. It’s impossible…wake up… pori-pori diperlukan oleh kulit, dan tidak ada kulit tanpa pori-pori. Semua itu sangat mungkin adalah hasil touch up by software seperti photoshop 😉 .

inilah poin terpenting:  selalu syukuri apa yang sudah kita miliki. wanita adalah makhluk yang indah, let’s say to yourself  “saya cantik” dan mulailah perhatikan berbagai aspek lain yang semakin mendukung kecantikan friends seperti sikap, kecantikan hati, dan kecerdasan.

 

 

 

Klepon Traditional Taste

resep kue klepon

cita rasa klasik dan aroma dari masa lampau semakin dicari dan diminati.  ini dia salah satunya, klepon, jajanan tradisioanal, citarasa khas tradisi 🙂 . jajanan yang satu ini, cara membuatnya mudah kok…hanya perlu sedikit kesabaran untuk membulat-bulatkan adonannya 😀  selamat mencoba….

Bahan:

– 250 gr   Tepung Ketan Putih

– 50   gr    Tepung Beras

– Gula Merah Secukupnya (diiris tipis/disisir halus utk isian)

– ½  bt Kelapa (pilih yang tidak terlalu tua)

– Air secukupnya

– Garam

– air daun suji/ pewarna makanan (hijau)

 

Cara Membuat:

– Siapkan Kelapa parut:

kelapa diparut, ditaburi garam ½ sdt, lalu dikukus sekitar 30mnt- 1jam.

– Adonan klepon :

Tepung Ketan putih, Tepung beras, ½ sdt garam, dicampur menjadi satu.

Kemudian   tambahkan (+/- 300 cc) air larutan daun suji/ air yang sudah ditambahkan pewarna  sedikit demi sedikit, uleni sampai adonan tercampur rata dan kalis.

– Proses membuat klepon:

Ambil sedikit adonan, bentuk bentuk bulat lalu pipihkan, isi tengahnya dengan gula merah. Bulatkan. Lakukan hingga adonan habis.

– Proses merebus dan finishing:

Rebus air hingga mendidih, masukan klepon yang telah dibulat-bulat. Tunggu hingga klepon mengambang ke permukaan air. Ini tandanya klepon sudah masak. Angkat, tiriskan. Gulingkan klepon diatas parutan kelapa. Klepon siap disajikan.

– hasilnya -/+ 50-60 btr klepon.

Soes Original Taste

kue soes ini cara membuatnya cukup mudah  dan relatif cepat…soal rasanya…hmmm…uuuueeenaak bangetz 🙂 dan yang pastinya sehat dan bersih serta bebas dari bahan-bahan yang berbahaya untuk kesehatan.  Momz pasti taukan… jaman sekarang ini susah banget cari makanan yang sehat. So, repot sedikit , kayaknya cukup sebanding dengan nilai kesehatan yang kt dapet 🙂

Resep Soes Original Taste

Bahan:

Kulit

–         100 gr   Margarin

–         225 ml  Air

–         1 Sdm   Gula pasir

–         125 gr   Terigu Protein Tinggi

–         4 bt       Telur

Vla

–         500 cc  Susu Murni

–         125 gr  Gula pasir

–         50 gr    Susu Bubuk

–         50 gr    Custard Powder

–         25 gr    Maizena

–         2 bt      Kuning Telur

–         1 Sdm  Mentega/Margarin

Cara Membuat:

    Kulit

    1. Air + Margarin + Gula =>direbus sampai gula n margarin larut
    2. Masukan Terigu sambil terus diaduk sampai kalis => angkat, dinginkan
    3. Setelah adonan benar-benar dingin, tambahkan telur => kocok menggunakan mixer hingga kental dan merata
    4. Adonan kulit siap dispuit
    5. Siapkan loyang, olesi dengan margarin, spuit adonan dengan spuit bintang, oven hingga menggembang dan matang => +/- 20 mnt
    Vla

    1. Larutkan Maizena + Custard dengan sebagian susu murni=> Sisihkan
    2. Kuning telur dikocok lepas, larutkan dengan sebagian susu murni=> Sisihkan
    3. Susu Murni + Susu Bubuk + Gula direbus hingga gula larut dan susu mulai mendidih
    4. Selanjutnya masukan larutan kuning telur sedikit demi sedikit sambil terus diaduk
    5. Terakhir masukan larutan maizena + Custard=>aduk sampai merata dan meletup-letup.
    6. Angkat dan dinginkan=>siap digunakan
    7. Masukan vla dalam plastik segitiga, gunting sedikit ujungnya=>isikan pada kulit soes yang sudah matang.

Selamat Mencoba

Jus Kulit Manggis

xanthone

Jus kulit manggis memiliki banyak khasiat yang dipercaya sangat baik untuk kesehatan. jus kulit manggis salah satunya juga dapat memberikan efek detoksifikasi alami bagi tubuh sehingga dapat membantu menurunkan kolestrol dan lemak jahat dalam darah. untuk dapat mengkonsumsi jus ini, tidak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi, kita dapat membuatnya sendiri dirumah. berikut adalah resep dari jus kulit manggis yang sudah saya coba dan praktekan, jadi tidak perlu khawatir untuk mencobanya 😉

Ingin sehat….tidak perlu mahal 🙂

Bahan:

–         4 buah manggis

–         1 buah jeruk lemon (dpt diganti 2 buah jeruk nipis)

–         2 sdm madu

–         2 sdm gula rendah kalori ( dpt diganti 4 sdm gula pasir)

–         3 gelas Air putih

 

Cara membuat:

  1. Belah buah manggis menjadi 2 bagian, keluarkan isi buahnya (jika ada biji yang besar, buang bijinya) dan kerok kulit manggis bagian dalamnya dengan menggunakan sendok. Masukan daging buah dan kulit manggis bagian dalam, kedalam blender.
  2. Tambahkan perasan jeruk lemon, madu, gula, dan air.
  3. Blender hingga lembut.
  4. Untuk membantu mengurangi rasa sepat yang tajam, rebus hasil jus tersebut dalam panci (hindari menggunakan panci berbahan almunium) sekitar 5-8 menit dengan api yang kecil, sambil terus diaduk. tidak perlu sampai mendidih.
  5. Angkat dan siap disajikan
  6. Selamat mencoba.

 

 

Cake coklat toping keju (ukuran loyang 22cm)

cake tabur keju

Cake ini salah satu fav di rumah. cake yang digunakan di dalamnya adalah cake coklat yang diolesi selai blueberry.

rasanya ueeenaak bngt, karena rasa coklat dipadukan dengan toping keju dan rasa yang khas dari selai blueberry 🙂

 

Bahan:

7 butir    telur

150 gr     gula pasir

100 gr     margarine

50 gr       butter

150gr      terigu rendah protein

50 gr       susu bubuk instant

25 gr       coklat bubuk

10 gr       maizena

1 sdt        emulsifier

100 gr     DCC

Finishing:

Whipped cream instant

Selai blueberry

Keju parut

Cara membuat:

  1. Lelehkan margarin + butter + DCC , sisihkan
  2. Kocok dengan kecepatan tinggi, telur + gula + emulsifier sampai kaku (jambul petruk) +/- 30 mnt
  3. Masukan campuran terigu + susu + coklat bubuk + maizena , kedalam adonan, kocok dengan kecepatan rendah sampai tercampur.(jangan terlalu lama, untuk menghindari adonan menjadi turun)
  4. Masukan  campuran margarin yang telah dilelehkan, aduk dengan cara dilipat.
  5. Tuang adonan kedalam loyang ukuran 22 cm, yang telah diolesi margarin dan ditaburi terigu. Panggang dalam oven dengan temperatur 180 °c hingga matang.
  6. Setelah kue matang, keluarkan dari loyang, dan dinginkan.
  7. Belah kue secara horisontal menjadi 2 bagian, isi dengan selai blueberry, satukan kembali.
  8. olesi permukaan kue dengan whipped cream kocok, dan sebagai finishing taburi seluruh permukaan kue dengan keju parut.
  9. cake coklat topping keju siap dihidangkan.

 

Selamat mencoba

14 PEDOMAN HIDUP MANUSIA

Posted on
  1. Musuh terutama manusia adalah dirinya sendiri
  2. Kegagalan terutama manusia adalah kesombongan
  3. Kebodohan terutama manusia adalah sifat menipu
  4. Kesedihan terutama manusia adalah rasa iri hati
  5. Kesalahan terutama manusia adalah mencampakkan dirinya
  6. Dosa terutama manusia adalah menipu dirinya dan orang lain
  7. Sifat manusia yang terkasihan adalah rasa rendah diri
  8. Sifat manusia yang paling dapat dipuji adalah semangat keuletannya
  9. Kehancuran terbesar manusia adalah rasa keputusasaan
  10. Harta terutama manusia adalah kesehatan
  11. Hutang terbesar manusia adalah hutang budi
  12. Hadiah terutama manusia adalah lapang dada dan mau memaafkan
  13. Kekurangan terbesar manusia adalah sifat berkeluh kesah dan tidak memiliki kebijaksanaan
  14. Ketentraman dan kedamaian terutama manusia adalah suka berdana dan beramal.

Makna Simbolik Topeng

Posted on

Topeng secara harafiah dapat diartikan sebagai penutup wajah, yang digunakan untuk menyembunyikan identitas asli dari pemakainya. Topeng digunakan untuk menutupi keseluruhan wajah pemakainya ataupun sebagian dari wajah pemakainya, misalkan bagian mata, atau bagian hidung dan mulut. Dengan menggunakan topeng identitas atau minimalnya anatomi wajah dari pemakainya menjadi tersamarkan.

Penggunaan topeng, bila ditelusuri lebih jauh, telah ada sejak jaman animisme. Menurut kepercayaan animisme ini, topeng diyakini sebagai media untuk menghadirkan roh-roh leluhurnya. Demi menghadirkan roh-roh leluhur ini, kepercayaan animisme banyak menggunakan ritual-ritual dengan melibatkan tari-tarian dan gamelan sebagai unsur pendukungnya, untuk menunjang media utamanya berupa topeng ataupun wayang (Kumalasari.,V, 1996). Dalam babad cirebon, Wayang digambarkan sebagai sareat(syariat), topeng sebagai tarekat (Mama Taham, 2005; Sumardjo, 2002). Topeng menggambarkan roh yang diundang dari dunia roh (metakosmos) ke arena upacara, karenanya bentuk topeng menjauhi bentuk mimetik, sebab kehadiran roh merupakan peristiwa transendensi. Bentuk kehadiran yang ”dikenal” secara empirik sekaligus juga ”tidak dikenal”. Seperti manusia, sekaligus juga bukan seperti manusia.

Dalam konsep primordial, topeng menjadi media untuk menghadirkan roh nenek moyang melalui pemakainya. Menghadirkan roh-roh nenek moyang ini merupakan upaya untuk menyelaraskan alam, menghindari chaos untuk mencapai kosmos. Keselarasan dari dualisme-antagonistik, menjadi hal utama dalam kepercayaan primordial. Mereka mempercayai bahwa untuk mencapai kesejahteraan, keamanan, keselamatan, dan ketentraman maka harus dicapai suatu keselarasan antara dunia atas dan dunia bawah. Roh nenek moyang mewakili dunia atas, manusia mewakili dunia bawah, kedua unsur tersebut disatukan dalam satu media yaitu Topeng.

By Karmagatri Dwipayana

PERKEMBANGAN TEORI LEADERSHIP DAN TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP DALAM PERSPEKTIF GENDER

Posted on

Abstrak

Teori leadership merupakan teori yang telah banyak dikaji oleh para peneliti dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Perkembangan teori leadership ini  memungkinkan teori ini untuk terus dikaji dengan memasukkan unsur-unsur lain sebagai dimensinya. Merunut pada perkembangan teori leadership,  transformational leadership  sebagai teori yang menjadi trend dalam leadership akhir-akhir ini, ,dalam tulisan  ini dikaji dari perspektif gender untuk menemukan aspek-aspek gender berupa karakteristik gender yang mana yang lebih terepresentasikan oleh transformational leadership. berdasarkan sejumlah penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa transformational leadership ini memuat female value sehingga disebut oleh beberapa peneliti sebagai feminime leadership style. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa teori leadership yang dikaji dengan perspektif gender ini memunculkan suatu kenyataan yang paradok, yaitu dimana stereotype terhadap perempuan yang pada awal perkembangan teori leadership menjadi glass ceiling bagi karier perempuan  ditemukan sebagai karakteristik dari transformational leadership yang saat ini merupakan gaya kepemimpinan yang banyak dianut karena dianggap paling efektif.

 I.       Pendahuluan

Teori leadership terus mengalami perkembangan dan memberikan banyak kemungkinan untuk dikaji dengan berbagai perspektif. Perspektif yang dapat digunakan untuk mengkaji teori leadership sangat beragam, misalnya teori leadership yang dikaji dengan memasukan unsur budaya organisasi, perilaku organisasi, aspek-aspek psikologis dan masih banyak lagi. Salah satu perspektif yang dijadikan dimensi untuk mengkaji teori leadership dalam tulisan ini adalah perspektif gender.

 

Penggunaan perspektif gender dalam tulisan ini adalah didasari oleh adanya pandangan tradisional yang mendeskriminasikan gender tertentu dalam bidang leadership terkait dengan karakteristik gender. pendiskriminasian terkait dengan karakteristik gender ini misalnya adalah stereotype yang mengatakan perempuan adalah lemah-lembut dan emosional sehingga kurang pantas menempati jabatan sebagai pemimpin. Karakteristik yang tepat untuk menjadi pemimpin adalah sosok yang tegas dan kuat, yang sesuai dengan stereotype laki-laki. Pandangan-pandangan seperti disebutkan diatas pada akhirnya memunculkan glass ceiling bagi gender tertentu dalam hal ini perempuan didalam karier leadership.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk  mengetahui bagaimana teori tentang leadership ini dalam perkembangannya juga terpengaruh dengan pandangan-pandangan yang mendiskriminasikan perempuan sekaligus juga memunculkan suatu kenyataan yang paradok dimana teori ini pada perkembangannya memasukkan pandangan stereotype terhadap perempuan sebagai karakter dari transformational leadership (gayakepemimpinan yang menjadi tren saat ini). Selain itu tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi para decision maker -dalam organisasi kerja- dalam memilih manajer atau pucuk-pucuk kepemimpinan didalam organisasi, agar terhindar dari bias gender yang dapat merugikan semua pihak bahkan organisasi itu sendiri bila memilih pemimpin dengan mendasarkan pada pandangan tradisional leadership yang bias gender. Pandangan bias gender ini sangat mungkin mengakibatkan organisasi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar memiliki kompetensi dan dapat membawa organisasi meraih tujuannya.

 II.    Leadership Style Dan Perkembangannya

2.1.         Leadership: Definisi dan Konsep  

Kata leadership diperkenalkan pada awal  1800an dalam tulisan mengenai pengaruh politik dan kontrol parlemen Inggris selama pertengahan abad 19(Bass, 1990). in this periode, leadership was “based on inheritance, usurpation or appointment” and was considered to occur most frequently in anglo-Saxon countries(Bass,1990,p.11). leadership pada awalnya didefinisikan sebagai  kemampuan penting untuk mempengaruhi orang lain. Definisi yang diungkapkan oleh Katz dan Khan pada tahun 1966 tersebut kemudian diperluas oleh sejumlah peneliti lainnya, seperti Tannenbaum dan Michener(Jogulu, 2006). Tannenbaum mendefinisikan leadership sebagai pengaruh interpersonal yang terlatih dalam berbagai situasi, melalui proses komunikasi untuk meraih tujuan yang spesifik atau berbagai tujuan. Michener pada tahun 1990 mendefinisikan leadership sebagai proses yang terjadi dalam suatu group dimana seorang anggotanya mempengaruhi dan mengontrol perilaku  anggota lainnya kearah tujuan bersama.

Bernard M. Bass (Bass,1990) menyatakan  bahwa Pemimpin / Leaders adalah agen perubahan , seorang yang bertindak untuk mempengaruhi orang lain , sementara perbuatan kepemimpinan / Leadership terjadi apabila seorang anggota group melakukan modifikasi terhadap motivasi atau kompetensi orang lain di dalam group tersebut. Pemimpin merupakan orang yang mampu mempengaruhi orang-orang disekitarnya khususnya bagian dari kelompoknya. Seorang pemimpin juga layaknya layar pada perahu yang mampu membawa, mendorong, dan memanfaatkan daya disekitarnya untuk menggerakkan anggota kelompoknya menuju visi dan misinya. Seorang pemimipin adalah agen perubahan, dimana kelompoknya menaruh harapan-harapan mereka pada sosok pemimpinnya. Seorang pemimpin harus mampu merespon perubahan yang terjadi secara konstan dan memimpin organisasi mereka, tidak sekedar bertahan hidup tetapi mentransformasi struktur, fungsi, pendanaan, dan metode yang dapat mengantarkan organisasi secara efektif meraih misinya (trautmann, 2007) 

Teori kepemimpinan telah melampaui beberapa fase perkembangan yang cukup signifikan. Pada awalnya hampir semua literatur kepemimpinan masa lalu selalu menkaitkan antara kepemimpinan dengan kekuasaan atau otoritas seperti yang telah dikemukakan oleh Machiavelli dalam judul karya tulisnya The Prince. Dalam perkembangannya teori kepemimpinan saat ini telah bergeser dan lebih memberikan penekanan ke arah karakter (traits) dan style perilaku (behavioral styles) dari pemimpin. Hal ini dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan pemimpin di dalam memimpin suatu entitas / group.  

2.2.        Perkembangan Dan Paradigma Dalam  Penelitian Leadership

Memasuki era tahun 1990an, dalam rangka pencarian terhadap leadership yang efektif,  muncul trend penelitian dalam bidang leadership yang memfokuskan leadership pada dua gayayang kontras yaitu transactional dan transformational. Konsep Tansformational leadership pertama kali diperkenalkan oleh Burn pada tahun 1978 dan dikembangkan kembali oleh Bass pada tahun 1985 (Burke,2001). Bass (1985) menyatakan  bahwa transformational leadership adalah gaya kepemimpinan yang diperlukan untuk menciptakan suatu perubahan yang radikal sedang Tansactional leadership adalah gaya kepemimpinan yang menghasilkan perubahan yang sifatnya incremental( berkaitan dengan kenaikan gaji) (Laohavichien, 2009). Transactional leadership occurs when one person takes the initiative in making contact with others for the exchange of valued things. Transformational leaders on the other hand appeal to the higher moral values of followers(Sigh, 2008). Transformational leadership merupakan gaya kepemimpinan yang umumnya dimiliki oleh seorang pemimpin yang bawahannya percaya, kagum, setia dan hormat kepada sang pemimpin dan juga termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih daripada yang sebenarnya diharapkan dan Transactional leadership merupakan gaya kepemimpinan yang kepemimipinannya di dasarkan pada wewenang birokratis yang menekankan pada kekuasaan resmi. Transactional leadership, dimiliki karena adanya suatu wewenang formal, sebaliknya transformational leadership dapat dimiliki siapapun, bahkan yang tidak memiliki wewenang secara formal. Perbedaan paling mendasar diantara keduanya adalah dalam cara memotivasi anak buahnya, dimana transactional lebih menekankan increment berupa reward untuk mencapai tujuan organisasi dan transformational menekankan pada kharisma yang mampu mempengaruhi orang lain untuk bergerak menuju tujuan bersama. Dengan berjalannya waktu, transformational saat ini menjadi suatu teori leadership yang popular. Hal ini didukung oleh bukti-bukti empirik yang menunjukan bahwa transformational leadership secara subtansial mempengaruhi performansi karyawan dan level outcomes organisasi(Kark, 2004). Sejalan dengan konsep tersebut melalui tulisan ini akan dikaji lebih jauh mengenai bagaimana teori transformational leadership ini dipandang dari sisi gender.

III. perkembangan Leadership Dalam Perspektif Gender

gayakepemimpinan/leadership style yang khas (laki-laki/perempuan), dikaji dan dilihat berdasarkan kemelekatan karakteristik gender padagayakepemimpinan tersebut. untuk itu kita perlu terlebih dahulu mengetahui secara jelas manakah karakteristik-karakteristik yang menjadi milik suatu gender tertentu

3.1.         Konsep Gender Dan Stereotype Gender

konsep gender (Fakih, 2003) menunjuk pada berbagai sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dipersepsi dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural; misalnya perempuan itu lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan; sementara laki-laki itu kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sejumlah sifat-sifat tersebutlah yang kemudian melekat dan dianggap merepresentasikan karakter gender. Tidak jarang pula sifat-sifat/ karakter tersebut menjadi stereotype terhadap suatu gender tertentu.

Kaum perempuan pada umumnya, kerap menjadi korban dari pandangan-pandangan gender yang dikonstruksi secara sosial. Pola-pola kekuasaan kaum pria yang otoriter pada semua bidang kehidupan mengakibatkan terbatasnya partisipasi kaum wanita dalam aktivitas kehidupan di luar lingkungan keluarga. Pandangan-pandangan patriarki yang dominan ini berdampak terhadap pendeskreditan kaum perempuan di berbagai negara. Hal ini disebut oleh Sarantakos sebagai pandangan androcentricity, yaitu dunia ini senantiasa dipandang dan dipahami dari sudut pandang kaum lelaki, dimana perempuan hanya digambarkan sebagai objek yang pasif daripada sebagai manusia yang bertindak sebagai subjek. Hal ini dapat memunculkan dua kondisi yaitu:

  • Gynopia yaitu suatu keadaan ketika kaum perempuan terabaikan.
  • Misogyny yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan kebencian terhadap kaum perempuan.

Kondisi-kondisi tersebut membuat kaum perempuan tersisihkan dan mengalami berbagai peran-peran gender yang tidak adil atau ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender merupakan sistem atau kultur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut(Fakih, 2003). Ketidakadilan gender yang kerap kali dialami kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan salah satunya adalah pelabelan negatif atau strereotype.

Stereotype atau pelabelan negatif, merupakan pencitraan terhadap suatu kelompok atau individu yang mengarah kepada hal-hal yang negatif dan tidak sesuai dengan kenyataan empirisnya. Strereotype yang sering ditujukan kepada kaum perempuan menyebabkan terjadinya tindakan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya stereotype yang beranggapan bahwa perempuan adalah orang yang emosional dan labil; anggapan ini sering menyebabkan kaum perempuan tersisih dalam persaingan untuk menempati jabatan penentu kebijakan dalam kerja publik bahkan sebelum persaingan itu sendiri dimulai. Istilah ”diskriminasi” menurut Discrimination (Employment and Occupation) Convention No.111, Concerning Discrimination In Respect of Employment and Occupation meliputi setiap pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan dan mengurangi persamaan kesempatan; juga menegaskan bahwa untuk tujuan Konvensi ini, istilah pekerjaan dan jabatan meliputi juga kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan, memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu dan syarat-syarat kondisi kerja.  

3.2.        Perempuan Dalam Teori Leadership

Teori leadership, baik transactional maupun transformational, pada awal perkembangannya,  sering diindentikkan dengan laki-laki. Hal ini oleh Schein disebut sebagai Fenomena “think manajeger-think male”(Jogulu,2006). Fenomena ini menjelaskan bahwa kesuksesan dan karakter seorang pemimpin sering diidentikkan dengan karakter laki-laki. Dalam banyak budaya, baik timur maupun barat, pemikiran seperti ini masih sangat kental. Hal ini mempengaruhi penelitian dan ketertarikan para peneliti leadership pada dekade tahun 1940an hingga tahun 1980an, yang dalam penelitiannya menunjukan dominasi laki-laki dalam kepemimpinan, yang antara lain juga dipengaruhi oleh perspektif para penelitinya dimana pada dekade tersebut didominasi oleh laki-laki (Jogulu,2006).

Leadership yang berhasil, diidentikkan dengan karakter laki-laki yang maskulin. Maskulinitas dalam leadership ini salah satunya  tergambar dalam trait theory. trait theory menggambarkan sifat-sifat maskulin sebagai bagian dari karakteristik leadership yang dianggap sebagai elemen yang vital dalam meraih keberhasilan dalam kepemimpinan. Trait theory ini sangat menonjol dalam literatur-literatur tahun 1904 hingga 1947(Bass,1990).

Pergeseran paradigma leadership dimulai pada dekade tahun 1990an. Pada dekade tersebut, penelitian dalam bidang leadership mulai memasukan unsur-unsur  kepemimpinan perempuan (Carless,S.A.,1998). Eksistensi perempuan dalam leadership, yang mulai diperhitungkan melalui sejumlah penelitian pada dekade tahun 1990an tersebut memunculkan berbagai pertanyaan seputargaya kepemimpinan perempuan. Salah satunya mempertanyakan, apakah perempuan memilikigaya kepemimpinan yang sama dengan laki-laki di dalam mempraktekkan leadership mereka.

Dominasi laki-laki dalam bidang leadership pada dekade sebelumnya yang berfokus pada men perspective selama ini telah menjadi glass ceiling bagi karier perempuan dalam bidang leadership. kenyataan ini membuat  perempuan harus mengidentikkan gaya kepemimpinan mereka dengan   gaya kepemimpinan yang maskulin. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Engen bahwa manajer perempuan dalam lingkungan yang didominasi laki-laki, diharapkan untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan “mens world” untuk memelihara status mereka sebagai pemimpin(Engen, 2001). Kendati demikian, pada dekade tersebut, sejumlah peneliti melalui penelitiannya, meyakini bahwa terdapat perbedaan antara kepemimpinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan hal ini didasarkan pada sifat-sifat gender yang melekat pada laki-laki dan perempuan (e.g. Carless,S.A.,1998; Engen, 2001;Trinidad,2005).

Smith(Smith,1994) melalui penelitiannya, menyatakan bahwa pemimpin perempuan mempengaruhi lingkungan kerja mereka secara berbeda dengan pemimpin laki-laki walaupun karakteristik mereka secara personal hampir serupa. Penelitian ini juga mendukung teori tentang men and women in the work place dan teori sosial. teori tentang men and women in the work place, menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan menerima sejumlah perlakuan/treatment yang berbeda ditempat kerjanya seperti status, masa jabatan, tugas, menyebabkan laki-laki dan perempuan berperilaku berbeda dalam pekerjaannya dan memiliki sikap yang berbeda terhadap pekerjaannya. Teori sosial mengungkapkan laki-laki dan perempuan memiliki experience yang berbeda didalam pekerjaan yang dipengaruhi oleh behaviour, persepsi dan latar belakang yang berbeda. Sejalan dengan kedua teori tersebut, penelitian smith menemukan kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan berperilaku berbeda dalam pekerjaannya dan diperlakukan berbeda dalam lingkungan kerjanya. Sejalan dengan pemikiran para peneliti diatas(e.g. Carless,S.A.,1998; Engen, 2001; Trinidad,2005; Smith,1994), maka dapat dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sifat-sifat gender yang berbeda yang mempengaruhigaya kepemimpinan mereka sehingga melahirkan suatugaya kepemimpinan yang khas (khas pemimpin laki-laki dan khas pemimpin perempuan).

3.3.        Transformational Leadership Dan Karakteristik Gender

Transformational leadership, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan gaya kepemimpinan yang pemimpinnya dipandang secara luarbiasa dan terdapat kebergantungan yang tinggi dari pengikutnya terhadap pemimpin yang transformational (kark,2004). Karakter-karakter dari transformational leadership digambarkan oleh kark sebagai gaya kepemimpinan yang less hierarchical, more flexible, team-oriented, dan participative.

Dalam praktek leadership, transformational leadership ini banyak disukai dan digunakan oleh perempuan(Trinidad,2005). Berdasarkan hasil penelitiannya, Trinidad menemukan bahwa dalam menjalankan kepemimpinnya,  perempuan mengadopsi gaya kepemimpinan yang demokratis dan partisipatif. Sesuai yang dikatakan Burk bahwa participative dan demokratis(more flexible) merupakan karakter dari kepemimpinan yang transformational. Hal yang serupa ditemukan Burke dalam penelitiannya(Burke, 2001), yang menemukan fakta bahwa manajer perempuan  lebih menyukai untuk mempraktekkan transformational leadership daripada manajer laki-laki. Sejalan dengan Tinidad dan Burke, Carless mengemukakan bahwa manajer perempuan ditemukan lebih transformational dibandingkan laki-laki, manajer perempuan dinilai memiliki kepemimpinan yang suportif, empowerment, dan memiliki leading vision and charisma yang lebih  dibandingkan manajer laki-laki. Women used a more participative and inclusive style of leadership and men were more likely to use a directive, controlling style(Carless,S.A.,1998).

Transformational leadership ini dikatakan banyak disukai dan digunakan oleh perempuan, karena transformational leadership ini berkaitan dengan female value. Benarkah demikian?. Dalam kepemimpinannya, manajer perempuan mengadaptasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan konteks dari organisasi yang dipimpinnya (engen, 2001). hal ini menurut Engen menunjukan bahwa manajer perempuan memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menentukan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan yang dilakukan perempuan, dibangun dengan kerjasama, kolaborasi, lower control, dan pemecahan masalah yang didasarkan pada intuisi dan rasionalitas, gaya kepemimpinan ini sangat dekat dengan transformational leadership. Attributes of transformational leadership are closely aligned to feminime characteristics in general as compared to masculine characteristics(Jogulu, 2006). Berdasarkan review yang dilakukan Engen ditemukan sejumlah karakteristik dari transformational leadership yang tipikalnya sama dengan stereotype atribut gender perempuan (lemah lembut/ cooperative, flexible). Tranformational leadership style can also be despites as a feminime leadership style because of its emphasis on the manager’s intellectual stimulation of, and the individual consideration given to employess(Engen,2001). Pernyataan Engen ini, diperkuat juga oleh sejumlah peneliti lain yang secara eksplisit juga menyatakan bahwa transformational leadership ini adalah merefer pada feminime leadership style

IV. Kesimpulan

Teori leadership terus mengalami perkembangan sebagai bentuk pencarian terhadap gayakepemimpinan yang efektif. Gayakepemimpinan yang saat ini dianggap paling efektif karena dapat mempengaruhi performansi karyawan dan mempengaruhi level outcomes perusahaan adalah transformational leadership.

Berdasarkan pengkajian terhadap teori leadership melalui perspektif gender, perempuan pada awal dekade perkembangan leadership, masih menjadi gender yang tersisih. Hal ini karena pada masa itu teori leadership dipandang berdasarkan men perspective. Pandangan ini telah menjadi glass ceiling bagi karier perempuan dalam bidang leadership pada masa itu.

Sejalan dengan perkembangan teori leadership yang menyatakan transformational leadership sebagai gaya kepemimpinan yang efektif dan menjadi trend kepemimpinan saat ini, ditemukan kenyataan bahwa berdasarkan karakter-karakter yang dimilikinya, transformational leadership ini memiliki sejumlah karakter yang less hierarchical, more flexible, team-oriented, dan participative. Sejumlah karakter tersebut juga ditemui sebagai karakter gender yang melekat pada perempuan, sehingga sejumlah penelitian secara eksplisit menyatakan bahwa transformational leadership ini adalah merefer pada feminime leadership style.

Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan (sebagaimana dituliskan diatas), maka dapat disimpulkan bahwa teori leadership yang dikaji dengan perspektif gender ini memunculkan suatu kenyataan yang paradok, yaitu dimana stereotype terhadap perempuan yang pada awal perkembangan teori leadership menjadi glass ceiling bagi karier perempuan  ditemukan sebagai karakteristik dari transformational leadership yang saat ini merupakan gaya kepemimpinan yang banyak dianut karena dianggap paling efektif.

 

Referensi:

Bass, B.M.(1990).  Stogdill’s Handbook of Leadership.New York Press.

Bass, B.M.,Waldman, D.A., Avolio, B.J.  (1987). Transformational leadership and The Falling Dominoes Effect. Group&Organizational Studies, 12 (1), 73-87.

Burke, S., Collins, K.M.(2001). Gender Defferences In Leadership Styles And Management Skills. Women in Management review, 16 (5), 244-256.

Carless, S.A.(1998). Gender Defferencess In Transformational leadership: An Examination Of Superior, Leader, And Subordinate Perspective. Sexs role, 39(11/12), 887-902.

Engen, M.L., Deer Leeden, R., Willemsen, T.M.(2001). Gender, Context And Leadership Styles: A Field Study. Journal of Occupational an organizational Psychology, 74, 581-598.

Fakih, M. (2003). Analisis Gender Dan Transformasi Sosial,  Pustaka PelajarYogyakarta

Jogulu, U.D., Wood G. J. (2006). The Role Of Leadership Theory In Raising The Profile Of Women In Management. Equal Opportunites International, 25 (4), 236-250.

Laohavichien, T., Fredendall, L.D., Cntrell, R.S.(2009). The Effect of transformational and tansformational Leadership on Quality Improvement. The Quality Management Journal,16(2), 7-24.

Smith, Patricia,L.,Smith S,J,.(1994). The Feminization of Leadership. Training&Development, 48(2), 43-46.

Trautmann, K., Maher, J.K., Motley, D.G. (2007). Learning Strategies as Predictors of transformational leadership: the case of non Profit Managers. Leadership &Organization Development Journal,  28 (3), 269-287.

Trinidad, C., Normore, H.(2005). Leadership And Gender Dangerous Liaison?. Leadership and organizational development journal, 26(7), 574-590.

 penulis:  Karmagatri Dwipayana

Menilai Keberhasilan Merger dan Akuisisi Berdasarkan Performansi Perusahaan

Posted on


 I.  PENDAHULUAN

Adanya globalisasi membuat persaingan dunia bisnis menjadi semakin ketat. Persaingan yang terjadi bukan lagi hanya berasal dari industri yang sama dalam satu negara tetapi menjadi semakin luas dengan terlibatnya berbagai perusahaan, baik industri yang sama atau berlainan  dari dalam dan luar negeri. Hal ini didukung dengan adanya perjanjian  WTO. Perjanjian yang disepakati bersama dalam putaran Uruguayatau lebih dikenal dengan nama WTO (World Trade Organization) telah memaksa  banyak negara untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi negara lain untuk membuka usaha di negara tersebut. Perjanjian WTO inilah yang menjadi tonggak resmi berlakunya globalisasi, khususnya sektor perdagangan antar negara dan antar wilayah[1]. persaingan global membuat perusahaan harus memikirkan alternatif stategi untuk bertahan hidup salah satunya adalah dengan melakukan merger dan Aquisisi.

aktivitas merger Di Amerika Serikat, sudah merupakan hal yang biasa terjadi. di era 1980an telah terjadi kira-kira 55.000 aktivitas sehingga tahun 1980an sering disebut sebagai dekade merger mania (Hitt, 2001). Sementara di Indonesia aktivitas merger dan akuisisi mulai marak dilakukan seiring dengan majunya pasar modal di Indonesia. Beberapa contoh perusahaan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang melakukan merger diantaranya adalah PT Semen Gresik yang mengakuisisi PT Semen Padang, PT Gudang Garam merger dengan PT Surya Pamenang dan PT Nutricia yang mengakuisisi PT Sari Husada.

II.          MERGER DAN AKUISISI

1)           Definisi Merger

Merger merupakan suatu strategi bisnis yang diterapkan dengan menggabungkan antara dua atau lebih perusahaan yang setuju menyatukan kegiatan operasionalnya dengan basis yang relatif seimbang, karena mereka memiliki sumber daya dan kapabilitas yang secara bersama-sama dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih kuat, (Hitt, et.al., 2001)[2]. Sedangkan menurut Brian Coyle (2000)[3] merger dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Dalam pengertian yang luas, merger juga menunjuk pada setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya, pada saat kegiatan usaha dari kedua perusahaan tersebut disatukan. Pengertian yang lebih sempit merujuk pada dua perusahaan dengan ekuitas hampir sama, menggabungkan sumber-sumber daya yang ada pada kedua perusahaan menjadi satu bentuk usaha. Pemegang saham atau pemilik dari kedua perusahaan sebelum merger menjadi pemilik dari saham perusahaan hasil merger, dan top manajemen dari kedua perusahaan tetap menduduki posisi senior dalam perusahaan setelah merger.

Merger menurut Morris (2000)[4], adalah “the absorption of one corporation into another corporation,….. Usually but not always, the selling corporation’s shareholders receive stock in the buying corporation” . Bagi Morris merger dapat dengan mudah dimengerti sebagai suatu bentuk yang secara struktural serupa dengan pengambilalihan saham. Semua hak dan kewajiban dari perusahaan yang merger dialihkan demi hukum kepada perusahaan yang mengambil alih tersebut. Dalam suatu transaksi merger yang sebenarnya terjadi adalah pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan yang diambil alih ke perusahaan yang mengambil alih. Pada pengambilalihan saham biasa, hak dan kewajiban dari perusahaan yang diambil alih tetap dipisahkan dalam suatu perusahaan independen yang berbeda dari perusahaan yang mengambil alih tersebut. Agar tidak merugikan kepentingan dari perusahaan yang mengakuisisi, dalam merger, maka diciptakanlah triangular merger, dimana perusahaan yang mengambil alih mendirikan satu perusahaan baru yang akan mengabsorbsi seluruh hak dan kewajiban dari perusahaan yang diambil alih tersebut.

2)          Definisi Akuisisi

Akuisisi dalam terminologi bisnis diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau asset suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan dalam peristiwa ini baik perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah. (Abdul Moin, 2004)[5].

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1998[6] tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas mendefinisikan akuisisi sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

3)          Macam-macam Merger dan Akuisisi

Merger dan Akuisisi berdasarkan aktivitas ekonomik dapat diklasifikasikan dalam limatipe[7] :

Merger Horisontal

Merger horisontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama. Sebelum terjadi merger perusahaan-perusahaan ini bersaing satu sama lain dalam pasar/industri yang sama. Salah satu tujuan utama merger dan akuisisi horisontal adalah untuk mengurangi persaingan atau untuk meningkatkan efisiensi melalui penggabungan aktivitas produksi, pemasaran dan distribusi, riset dan pengembangan dan fasilitas administrasi. Efek dari merger horisontal ini adalah semakin terkonsentrasinya struktur pasar pada industri tersebut. Apabila hanya terdapat sedikit pelaku usaha, maka struktur pasar bisa mengarah pada bentuk oligopoli, bahkan akan mengarah pada monopoli.

Merger Vertikal

Merger vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam tahapan-tahapan proses produksi atau operasi. Merger dan akuisisi tipe ini dilakukan jika perusahaan yang berada pada industri hulu memasuki  industri hilir atau sebaliknya. Merger dan akuisisi vertikal dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bermaksud untuk mengintegrasikan usahanya terhadap pemasok dan/atau pengguna produk dalam rangka stabilisasi pasokan dan pengguna. Tidak semua perusahaan memiliki bidang usaha yang lengkap mulai dari penyediaan input sampai pemasaran. Untuk menjamin bahwa pasokan input berjalan dengan lancar maka perusahaan tersebut bisa mengakuisisi atau merger dengan pemasok. Merger dan akuisisi vertikal ini dibagi dalam dua bentuk yaitu integrasi ke belakang atau ke bawah (backward/downward integration) dan integrasi ke depan atau ke atas (forward/upward integration).

Merger Konglomerat

Merger konglomerat adalah merger dua atau lebih perusahaan yang masing-masing bergerak dalam industri yang tidak terkait. Merger dan akuisisi konglomerat terjadi apabila sebuah perusahaan berusaha mendiversifikasi bidang bisnisnya dengan memasuki bidang bisnis yang berbeda sama sekali dengan bisnis semula. Apabila merger dan akuisisi konglomerat ini dilakukan secara terus menerus oleh perusahaan, maka terbentuklah sebuah konglomerasi. Sebuah konglomerasi memiliki bidang bisnis yang sangat beragam dalam industri yang berbeda.

Merger Ekstensi Pasar

Merger ekstensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk secara bersama-sama memperluas area pasar. Tujuan merger dan akuisisi ini terutama untuk memperkuat jaringan pemasaran bagi produk masing-masing perusahaan. Merger dan akusisi ekstensi pasar sering dilakukan oleh perusahan-perusahan lintas Negara dalam rangka ekspansi dan penetrasi pasar. Strategi ini dilakukan untuk mengakses pasar luar negeri dengan cepat tanpa harus membangun fasilitas produksi dari awal di negara yang akan dimasuki. Merger dan akuisisi ekstensi pasar dilakukan untuk mengatasi keterbatasan ekspor karena kurang memberikan fleksibilitas penyediaan produk terhadap konsumen luar negeri.

Merger Ekstensi Produk

Merger ekstensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk memperluas lini produk masing-masing perusahaan. Setelah merger perusahaan akan menawarkan lebih banyak jenis dan lini produk sehingga akan menjangkau konsumen yang lebih luas. Merger dan akuisisi ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan departemen riset dan pengembangan masing-masing untuk mendapatkan sinergi melalui efektivitas riset sehingga lebih produktif dalam inovasi.

Pola adalah sistem bisnis yang diimplementasikan oleh sebuah perusahaan dan dalam hal ini pola merger adalah sistem bisnis yang akan diadopsi atau yang akan dijadikan acuan oleh perusahaan hasil merger. Klasifikasi berdasarkan pola merger terbagi dalam dua kategori yaitu :

a.    Mothership Merger

Mothership merger adalah pengadopsian satu pola atau sistem untuk dijadikan pola atau sistem pada perusahaan hasil merger. Biasanya perusahaan yang dipertahankan hidup adalah perusahaan yang dominan dan sistem pola bisnis perusahaan yang dominan inilah yang diadopsi.

b.     Platform Merger

Jika dalam mothership merger hanya satu sistem yang diadopsi, maka dalam platform merger hardware dan software yang menjadi kekuatan masing-masing perusahaan tetap dipertahankan dan dioptimalkan. Artinya adalah semua system atau pola bisnis, sepanjang itu baik, akan diadopsi oleh perusahaan hasil merger.

Klasifikasi berdasarkan obyek yang diakuisisi dibedakan atas akuisisi saham dan akuisisi asset, yaitu :

Akuisisi Saham

Istilah akuisisi digunakan untuk menggambarkan suatu transaksi jual beli perusahaan, dan transaksi tersebut mengakibatkan beralihnya kepemilikan perusahaan dari penjual kepada pembeli. Karena perusahaan didirikan atas saham-saham, maka akuisisi terjadi ketika pemilik saham menjual saham-saham mereka kepada pembeli/pengakuisisi.

Akuisisi saham merupakan salah satu bentuk akuisisi yang paling umum ditemui dalam hampir setiap kegiatan akuisisi. Akuisisi tersebut dapat dilakukan dengan cara membeli seluruh atau sebagian saham-saham yang telah dikeluarkan oleh perseroan maupun dengan atau tanpa melakukan penyetoran atas sebagian maupun seluruh saham yang belum dan akan dikeluarkan perseroan yang mengakibatkan penguasaan mayoritas atas saham perseroan oleh perusahaan yang melakukan akuisisi tersebut, yang akan membawa ke arah penguasaan manajemen dan jalannya perseroan.

Akuisisi Aset

Apabila sebuah perusahaan bermaksud memiliki perusahaan lain maka ia dapat membeli sebagian atau seluruh aktiva atau aset perusahaan lain tersebut. Jika pembelian tersebut hanya sebagian dari aktiva perusahaan maka hal ini dinamakan akusisi parsial.

Akuisisi asset secara sederhana dapat dikatakan merupakan :

  1. Jual beli (aset) antara pihak yang melakukan akuisisi aset (sebagai pihak pembeli) dengan pihak yang diakuisisi asetnya (sebagai pihak penjual), jika akuisisi dilakukan dengan pembayaran uang tunai. Dalam hal ini segala formalitas yang harus dipenuhi untuk suatu jual beli harus diberlakukan, termasuk jual beli atas hak atas tanah yang harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah.
  2. Perjanjian tukar menukar antara aset yang diakuisisi dengan suatu kebendaan lain milik dan pihak yang melakukan akuisisi, jika akuisisi tidak dilakukan dengan cara tunai. Dan jika kebendaan yang dipertukarkan dengan aset merupakan saham-saham, maka akuisisi tersebut dikenal dengan nama assets for share exchange, dengan akibat hukum bahwa perseroan yang diakuisisi tersebut menjadi pemegang saham dan perseroan yang diakuisisi.

Untuk melakukan akuisisi, Morris (2000)[8] mengemukakan adanya beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu :

  1. Characteristics and size of industry and company
  2. Size of market and expected market growth
  3. Share of market held by the candidate (to be acquired)
  4. Barriers to entry by the new competition
  5. State of the acquisition candidate’s technology and easy with which it could be duplicated by the acquirer or by a competitior
  6. Competitive advantage of the acquisition candidate’s product or service
  7. Amount of the investment required by the acquirer and the projected return rates
  8. Existence of in place management, technical personnel and other key personnel
  9. Ability of the acquirer to acquire and retain the acquisition candidate’s business
  10. Size and price range

Akuisisi dapat terjadi dalam keseluruhan ataupun secara sebagian. Akuisisi keseluruhan terjadi jika terjadi pengambilalihan 100% saham perusahaan, sedangkan akuisisi disebut akuisisi sebagian jika akuisisi dilakukan dengan mengambil alih lebih dari 50% kepemilikan saham tetapi kurang dari 100%[9].

Akuisisi juga  dapat dilakukan dengan cara pembayaran tunai, penerbitan surat-surat berharga, berbentuk saham (share swap), obligasi,suratutang, dan surat-surat berharga lainnya, dan  Campuran bentuk pembayaran tunai dansuratberharga,

Menurut Coyle[10], Akuisisi dalam prakteknya dapat berbentuk agresive, defensive, dan negotiated. Akuisisi dikatakan bersifat aggressive, jika akuisisi dilakukan dengan paksa, yang pada umumnya memperoleh tentangan yang sangat dari manajemen perusahaan yang akan diambil alih, sehingga seringkali disebut juga dengan hostile take over. Bentuk akuisisi yang berlawanan dari aggressive acquisition ini adalah negotiated take over. Sedangkan suatu akuisisi disebut dengan defensif, jika terjadi keadaan tawar menawar antara manajemen perusahaan yang diambil alih mengenai pihak mana yang disetujui untuk melakukan pengambilalihan. Defensive acquisition ini pada umumnya terjadi sebagai reaksi dari aggressive take over.  sedikitnya ada lima alasan pokok perusahaan  melakukan merger dan akuisisi[11] yaitu : Faster growt, Vertical integration, Acquisition of intangibles and personnel, Portfolio investment, Change in industries 

4)          Manfaat dan  Resiko Merger dan Akuisisi

Dalam banyak literature manajemen strategi ditemukan bahwa merger dan akuisisi memberikan banyak manfaat. Beberapa manfaat yang mungkin dihasilkan dari proses merger dan akuisisi menurut David (1998)[12] antara lain :

  1. Meningkatkan efisiensi melalui sinergi yang tercipta diantara perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
  2. Memperluas portfolio jasa yang ditawarkan yang akan berakibat pada bertambahnya sumber pendapatan bagi perusahaan.
  3. Memperkuat daya saing perusahaan, dan lain sebagainya.

Namun selain manfaat yang mungkin dihasilkan, menurut David (1998) perlu juga diperhatikan kemungkinan risiko yang akan muncul sebagai hasil dari merger dan akuisisi, yaitu :

  1. Seluruh kewajiban masing-masing perusahaan akan menjadi tanggungan perusahaan hasil merger atau akuisisi, termasuk kewajiban pembayaran dan penyerahan produk kepada vendor yang masih terhutang.
  2. Beban operasional, terutama dalam jangka pendek, akan semakin meningkat sebagai akibat dari proses penggabungan usaha.
  3. Perbedaan budaya (corporate culture), sistem dan prosedur yang diterapkan dimasing-masing perusahaan selama ini akan memerlukan penyesuaian dengan waktu yang relatif lama, dan sebagainya.

5)          Faktor Keberhasilan Merger dan Akuisisi 

Keberhasilan suatu merger dan akuisisi sangat bergantung pada ketepatan analisis dan penelitian yang menyeluruh terhadap faktor-faktor penyelaras atau kompatibilitas antara organisasi yang akan bergabung. Neil M. Kay (1997)[13], dalam bukunya Pattern in Corporate Evolution, mengungkapkan bahwa merger dan akuisisi akan berlangsung sukses apabila diantara perusahaan yang akan bergabung memiliki market link dan technological link. Sementara Robins (2000)[14], dalam Organizational Behavior, menambahkan bahwa kompatibilitas budaya organisasi yang akan bergabung dalam sebuah merger seringkali menjadi faktor non ekonomi yang krusial dalam mendukung keberhasilan sebuah proses merger. Sedangkan Pringle dan Harris (1987)[15], dalam bukunya Esentials of Managerial Finance memandang bahwa kinerja keuangan pada perusahaan hasil merger merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan ketika dua perusahaan atau lebih akan bergabung.

1.     Faktor Pasar dan Pemasaran

Menurut Neil Kay (1997), perusahaan dapat berhasil dalam melakukan merger dan akuisisi apabila terdapat kesamaan atau komplementaritas dalam hal pasar yang ia sebut sebagai market linkages. Salah satu hasil yang diharapkan dari merger dan akuisisi adalah sinergi yang dihasilkan oleh meningkatnya akses perusahaan ke pasar baru yang selama ini tidak tersentuh.

Sumber-sumber potensial yang dalam hal ini menggabungkan kesempatan pasar dengan saling berbagi pasar yang ditekuni masing-masing selama ini (cross marketing). Dengan lini produk yang lebih luas, setiap perusahaan dapat menjual lebih banyak produk kepada pelanggannya dari yang selama ini telah dilakukannya. Cross-marketing ini memungkinkan secara cepat masing-masing perusahaan untuk meningkatkan pendapatannya dengan sangat cepat. Sehingga memungkinkan terjadinya cross selling yang akan meningkatkan pendapatan perusahaan hasil merger dan akuisisi. Sebagai contoh sarana cross-marketing adalah kekuatan merk salah satu produk akan memberikan efek kepada produk yang lain yang didapat dari hasil merger dan akuisisi.

Sustainability perusahaan sangat tergantung pada respon pasar yang positif terhadap apa yang mereka tawarkan. Meskipun memiliki kemampuan untuk memproduksi barang atau jasa yang berkualitas namun bila pasar tidak memberikan respon yang positif maka perusahaan tidak akan memperoleh profit. Sementara profit merupakan dasar bagi keberlangsungan sebuah perusahaan.

2.    Faktor Teknologi

Menurut Neil Kay (1997)[16], perusahaan dapat melakukan merger dan akuisisi apabila terdapat kesamaan atau komplementaritas dalam hal sumber daya teknologi dan produksi yang ia sebut sebagai technological linkages. Technological linkages ini dapat meliputi penggabungan proses produksi karena proses yang sama seperti halnya yang terjadi pada horizontal merger.

Proses pengembangan produk juga dapat menjadi sarana terjadinya sinergi teknologi informasi dalam satu organisasi. Ketika teknologi yang digunakan sama maka potensi sinergi dapat diciptakan. Dengan melakukan proses merger dan akuisisi secara sehat dan suka rela, potensi sinergi akan menghasilkan skala dan ruang lingkup ekonomi (economy of scale and scope) yang bermanfaat. Teknologi dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan produksi dan inovasi yang dimiliki oleh perusahaan yang tercermin dari kualifikasi sumber daya manusia, skill dan keahlian yang mereka miliki, jenis produk yang mereka tawarkan serta peralatan barang modal yang mereka gunakan.

Disinilah para pengambil kebijakan juga mesti berhati-hati. Jangan sampai perusahaan hasil merger dan akuisisi malah menjadi tidak produktif dikarenakan adanya kesenjangan teknologi.

3.    Faktor Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan salah satu aspek non ekonomis yang sangat penting untuk dipertimbangkan ketika dua perusahaan atau lebih melakukan merger dan akuisis. Dalam banyak kasus merger dan akuisisi diberbagai perusahaan, masalah budaya seringkali menjadi masalah yang sangat krusial. Latar belakang budaya yang sangat berbeda diantara karyawan dapat menyebabkan karyawan enggan untuk melakukan kerja sama, masing-masing berusaha melakukan sesuatu berdasarkan cara metode yang selama ini telah mereka lakukan diperusahaan lama mereka, untuk bisa beradaptasi seringkali membutuhkan waktu yang lama.

Budaya organisasi didefinisikan oleh Robins (2000)[17] sebagai suatu persepsi bersama yang dianut anggota-anggota organisasi tersebut. Schein (1997)[18], menyebutkan bahwa budaya organisasi mengacu kepada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya. Sementara Kotter dan Heskett (1992)[19] menjelaskan bahwa dalam organisasi, budaya mempresentasikan value dan cara yang dimiliki bersama oleh orang-orang yang terlibat dalam organisasi. Value sendiri dipandang sebagai keyakinan dasar tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan dan apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk organisasi.

Perbedaan budaya ini dapat menyebabkan konflik. Akibatnya kerja sama tidak mudah terbangun, kohesivitas organisasi lemah, sinergi tidak tercipta, akhirnya produktivitas perusahaan hasil merger dan akuisisi juga menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

Perbedaan budaya organisasi tentu dapat diselesaikan. Karena memang budaya sendiri adalah sesuatu yang dapat berubah. Namun hal tersebut membutuhkan waktu dan kemampuan mengelola perubahan yang baik. Karenanya sebelum merger dan akuisisi dilakukan kiranya perlu dipersiapkan model transisi budaya yang bisa diterima dan diikuti oleh segenap komponen dalam masing-masing perusahaan yang akan merger dan akuisisi

4.    Faktor Keuangan

Salah satu alasan mengapa merger dan akuisisi dilakukan adalah harapan akan terjadinya sinergi melalui penggabungan sumber daya beberapa perusahaan.

Dari sisi finansial[20], sinergi ini bermakna kemampuan menghasilkan laba perusahaan hasil merger dan akuisisi yang lebih besar dari kemampuan laba masing-masing perusahaan sebelum merger dan akuisisi. Sinergi inilah yang menjadi syarat awal terjadinya sebuah merger. Sinergi ini kemudian memungkinkan perusahaan hasil merger dan akuisisi dapat membiayai proses merger dan akuisisi serta mampu memberikan deviden yang premium kepada pemilik modal perusahaan.

Efek sinergi dari sebuah merger dan akuisisi bersumber pada dua aktivitas yaitu sinergi dalam hal operasional dan sinergi dalam hal finansial. Sinergi operasional dapat terjadi berupa peningkatan pendapatan (revenue enhancement) dan pengurangan biaya (cost reduction).

Dalam prakteknya, usaha peningkatan pendapatan ini lebih sulit dibanding usaha mengurangi biaya produksi. Hal ini karena yang kedua lebih kasat mata dan terukur sehingga lebih mudah diidentifikasi. Sementara sinergi dalam hal finansial berhubungan dengan kemungkinan lebih rendahnya biaya memperoleh modal bagi perusahaan hasil merger dan akuisisi dibanding biaya bagi perusahaan sebelum merger dan akuisisi.

Para perencana merger dan akuisisi cenderung melihat pengurangan biaya sebagai sumber utama sinergi operasional. Pengurangan biaya ini lebih banyak bersumber dari skala ekonomi yaitu penurunan biaya per unit produk yang dihasilkan oleh peningkatan volume produksi atau skala operasional perusahaan. Biaya per unit produk yang tinggi muncul akibat biaya tetap operasional yang hanya menghasilkan output yang sedikit. Proses yang meningkatkan jumlah output yang kemudian berakibat penurunan biaya per unit ini biasa disebut spreading overhead. Sumber lain yang dapat mengurangi biaya adalah peningkatan spesialisasi tenaga kerja dan manajemen, serta penggunaan barang modal yang lebih efisien, yang tidak mungkin terjadi pada tingkat output yang rendah. 

III. Merger -Akuisisi dan performansi perusahaan

Merger dan Akuisisi, dipandang sebagai sebuah strategi, tentunya diharapkan dapat memberikan feedback yang positif bagi perusahaan. Feedback positif bagi perusahaan ini, dapat dipandang melalui berbagai hal diantaranya adalah meningkatnya performansi perusahaan. Merger dan akuisisi sebagai sebuah strategi, akan dianggap sebagai pilihan yang tepat jika melalui penerapannya mampu membawa perusahaan menuju performansi yang diharapkan. pada kenyataannya, merger dan akuisisi, tidak selalu membawa perusahaan pada keberhasilan (mencapai tujuannya untuk meningkatkan performansi).

Allen&Israel[21] menyatakan bahwa merger pada umumnya menghasilkan performansi yang biasa-biasa saja. Hal ini salah satu dipengaruhi oleh motif dari merger itu sendiri. Perusahaan melakukan merger dan akuisisi, dibarengi oleh pertimbangan dan tujuan tertentu. Perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi tersebut tidak selalu memiliki motif meningkatkan performansi perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Raj Kumar di India, dimana perusahaan memiliki motifasi tersendiri untuk melakukan merger dan akuisisi, bahkan mungkin diiringi oleh motif tersembunyi[22].

Berdasarkan penelitian Raj Kumar terhadap merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di India pada periode 1999-2002, diketahui bahwa pada periode tersebut, merger dan akuisisi yang berlangsung tidaklah menghasilkan peningkatan dan performance secara finansial. Merger dan akuisisi yang terjadi di India, ternyata tidak didasarkan pada motif untuk meningkatkan performansi secara finansial atau untuk meningkatkan profit. ”The decision of mergers may have been inspired by the motive of empire building, market consolidation, and aquiring bigger size”[23].

 IV.  PENUTUP

Merger dan akuisisi merupakan strategi yang dapat digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan dari perusahaan. tujuan perusahaan melakukan merger dan akuisisi ini tidak selalu untuk meningkatkan performansi perusahaan tersebut. tujuan melakukan merger dan akuisisi dapat beragam yang didasari oleh motif-motif tertentu.

Merger dan akuisisi ini sebagai sebuah strategi, pada akhirnya merupakan sebuah sarana yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan dan kegagalan dari merger dan akuisisi ini, tidak dapat dinilai hanya berdasarkan pada pencapaian performansi perusahaan, tetapi disesuaikan dengan tujuan awal perusahaan ketika mereka memutuskan untuk melakukan merger dan akuisisi tersebut.

Reference:

A.B Susanto,. (2004). Menjadi Super Company;melalui budaya organisasi yang tangguh dan futuristic. Jakarta: Quantum Bisnis&Manajemen.

Coyle Brian,. (2000).Mergers and Acquisitions,Amacom,New York.

David, Fred R. (1998).Concepts of Strategic Management. 7th ed.New Jersey. Prentice Hall Inc.

Hitt, M.E., et.all.,. (2000).Strategic Management, South Western College Publishing.

Kumar,Raj. (2009).Post-Merger Corporate Performance: An Indian Perspective. Management research News, 32 (2), pp145-157.

Michel, Allen., Shaked, Israel. (1985). Evaluating Merger Performance. California Management Review. 27, pg. 109

Morris Joseph M.,. (2000). Mergers and Acquisitions, Business Strategies for Accountants,  JohnWiley & Sons, Inc.,New York.

Neil, M. Kay. (1997).Pattern In Corporate Evolution.New York.OxfordUniversity Press.

Pringle, J.J., and Harris, R.S., . (1987).Esentials of Managerial Finance. 2nd ed.,IllinoisLondon..

Robins, S.T.,. (2000).Organizational Behavior.New Jersey. Prentice Hall Inc.

Schein, E.H.,. (1997).Organizational Culture and Leadership. Fransisco : Jossey-Bass.


[1] A.B.Susanto, Menjadi Super Company;Melalui Budaya Organisasi Yang Tangguh Dan Futuristic.Jakarta: Quantum Bisnis&Manajemen., 2004, hal 25

[2] Hitt, M.E., et.all., 2000, Strategic Management, South Western College Publishing

[3] Coyle Brian, 2000, Mergers and Acquisitions,Amacom,New York

[4] Morris Joseph M., 2000, Mergers and Acquisitions, Business Strategies for Accountants,

JohnWiley & Sons, Inc.,New York

[5] Moin, Abdul, op.cit

[6] Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1998. Tentang Penggabungan, Peleburan dan  

    Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

[7] Coyle Brian, op.cit

[8] Morris Joseph M., op.cit

[9] Coyle Brian, op.cit

[10] Coyle Brian, op.cit

[11] Morris Joseph M., op.cit

[12] David, Fred R. 1998. Concepts of Strategic Management. 7th ed.New Jersey. Prentice Hall

Inc.

[13] Neil, M. Kay. 1997. Pattern In Corporate Evolution.New York.OxfordUniversity Press.

[14] Robins, S.T., 2000. Organizational Behavior.New Jersey. Prentice Hall Inc.

[15] Pringle, J.J., and Harris, R.S., 1987. Esentials of Managerial Finance. 2nd ed.,Illinois

London

[16] Neil, M. Kay., op.cit

[17] Robins, S.T., op.cit

[18] Schein, E.H., 1997. Organizational Culture and Leadership. Fransisco : Jossey-Bass

[19] Kotter, John and Heskett, James., op.cit

[20] Pringle, J.J., and Harris, R.S., op.cit

[21] Michel, Allen., Shaked, Israel. (1985). Evaluating Merger Performance. California Management Review. 27, pg. 109

[22] Kumar,Raj. (2009).Post-Merger Corporate Performance: An Indian Perspective. Management research News, 32 (2), pp145-157

[23] Kumar,Raj. (2009).Post-Merger Corporate Performance: An Indian Perspective. Management research News, 32 (2), pp145-157

Penjabaran Konsep Individual Learning and Learning Organization melalui artikel “A Study Of The Current Learning organization Profile To Elementary Schools At Pingtung Country, Taiwan”

Posted on

Penjabaran Konsep Individual Learning and Learning Organization melalui artikel

“A Study Of The Current Learning organization Profile To Elementary Schools At Pingtung Country, Taiwan”

(Ching-wen Cheng, Ph.D., National Pingtung University of Education, Taiwan)

Abstrak

Belajar merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk bertahan hidup dalam era persaingan global, sama halnya juga dengan organisasi. Bagi organisasi pertanyaannya adalah belajar atau tidak belajar (to learn or not to learn). Dalam masyarakat Taiwan yang menganut budaya confusius, belajar telah diterima sebagai suatu ide dalam kehidupan masyarakat. Kendati masyarakat Taiwan mempercayai bahwa belajar merupakan hal yang penting bagi kehidupan seseorang tetapi mereka bisanya berfikir seseorang hanya perlu belajar ketika bersekolah. Konsep learning organization sendiri berasal dari budaya barat, lalu pertanyaannya (yang juga menjadi pertanyaan dari penelitian jurnal ini )adalah apakah learning organization ini  seutuhnya diterima kelompok Confucian?. Tujuan utama studi ini adalah untuk mengeksplorasi profile learning organization di sekolah dasar di Taiwan. Penelitiannya dibatasai pada guru-guru  sekolah dasar diPingtung Country,Taiwan.

Pendahuluan

Isu “learning organization” mulai menjadi trend dalam bidang akademik organization development sejak dipublikasikannya buku The Fifth Disipline tahun 1990. konsentrasi untuk menerapkan strategi ini bukan hanya para pemimpin bisnis tetapi juga menejemen-manajemen dari berbagai disiplin yang lain. Dikatakan oleh Chang dan Lee (1997) bahwa  Learning organization adalah kekuatan untuk berkembang dan individual learning adalah sumber untuk pertumbuhan bisnis (Fard H.D.,Rostamy A.A.A., Taghiloo H., 2009) menurut  Dricker (1998), konsep learning organization juga mencakup organisasi pendidikan, karena organisasi pendidikan memiliki  kebutuhan yang terus meningkat secara efektif dalam lingkungan yang terus berubah.  Dalam era kompetitif global ini, belajar menjadi satu-satunya cara untuk meningkatkan kemampuan hidup seseorang, demikian juga dengan organisasi pendidikan. The key to the survival of organizations is learning, not individual learning itself, but emerging learning in the organization (Fard H.D.,Rostamy A.A.A., Taghiloo H., 2009).Tidak diragukan lagi bahwa organisasi pendidikan harus ditransformasi menjadi learning organization dan berfokus pada pengembangan yang terus-menerus untuk mencapai benefit yang long-term. Schein (1990) mengatakan organizational culture consists of two layers of consepts, namely, visible and invisible characteristics. the visible layer means external building, clothing, behaviour modes, regulations, stories, myths, language, and rites. on the other hand, the invisible layer means common value, norms, faith, and assumstions of business organizational members (Fard H.D.,Rostamy A.A.A., Taghiloo H., 2009) .  Konsep learning organization sendiri berasal dari budaya barat, lalu pertanyaannya (yang juga menjadi pertanyaan dari penelitian jurnal ini )adalah apakah learning organization ini  seutuhnya diterima kelompok Confucian?.. Tujuan utama studi ini adalah untuk mengeksplorasi profile learning organization di sekolah dasar di Taiwan. Penelitiannya dibatasai pada guru-guru  sekolah dasar di Pingtung Country, Taiwan.

Pengertian  learning

Learning dalam diri individu berlangsung secara terus menerus setiap waktu. Menurut Robbins&Jugde [1] learning adalah Any relatively permanent change in behavior that occurs as a result of experience. Learning atau belajar menurut Robbins&Jugde ini dapat dilihat dan diidentifikasi melalui perubahaan behavior atau tingkah laku. Perubahan dalam perilaku ini bisa bersifat positif maupun negatif, karena learning tidak selalu berkonotasi terhadap hal yang positif saja tetapi individu dapat belajar mengenai berbagai hal secara luas baik positif maupun negatif dimana proses tersebut akan terus terjadi sepanjang hidupnya.

Teori-teori tentang Individual learning:

  1. classical conditioning

adalah suatu kondisi dimana orang bereaksi terhadap suatu stimulus tertentu yang tidak biasa. Classical conditioning ini sering kita jumpai dan alami secara tidak sadar dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya melihat suatu barang tertentu mengingatkan kita akan suatu peristiwa atau moment tertentu dalam hidup kita. Foto perkawinan akan mengingatkan moment indahnya mencintai dan dicintai, indahnya masa pacaran.

  1. operant conditioning

suatu kondisi yang  memunculkan perilaku dimana orang terdorong untuk beraksi demi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah/penghargaan tertentu(reward). Misalnya seorang anak yang dipuji karena perilaku tertentu cenderung akan mengulangi perilakunya tersebut, begitu pula sebaliknya, perulaku yang mendatangkan hukuman tertentu cenderung tidak akan diulangi.

  1. Social learning theory

Orang cenderung belajar melalui pengalaman dan observasi. Misalnya seorang anak kecil cenderung akan meniru perilaku orang tuanya, bila ia melihat orang tuanya ketika marah membanting barang, maka ia cenderung akan berperilaku yang sama.

Founders of learning organization

  1. Peter senge diakui sebagai the father of learning organization melalui bukunya yang menjadi best seller yaitu the fifth Disipline, konsep learning organization dikenal secara luas.Limadisiplin yang dimaksud singe adalah:
    1. Mental models
    2. Personal mastery
    3. System Thinking
    4. Shared vision
    5. Team learning

Secara singkat dapat diartikan bahwa orang harus meninggalkan cara berfikir mereka yang lama, belajar memiliki pemikiran yang terbuka terhadap individu yang lain, melihat secara menyeluruh kepada fungsi-fungsi organisasi, membentuk visi organisasi yang disetujui setiap orang, dan bekerja bersama untuk meraih visi tersebut.

  1. Tokoh berikutnya adalah Chris Argyris yang dikenal dengan konsepnya mengenai “double-loop Learning”  dan juga sebagai pionir dari pemikiran mengenai bagaimana learning dapat membantu proses perkembangan organisasi menjadi berhasil. Argyris mempercayai bahwa perubahan yang nyata bisa dihasilkan ketika orang belajar mengevaluasi perilaku mereka sendiri, bertanggung jawab atas tindakan mereka di tempat kerja dan menyadari informasi (berpotensi) yang mengancam bagi organisasi mereka. Selain itu Argyris juga menyarankan bahwa pihak manajemen perusahaan harus menyemangati karyawannya untuk berfikir secara konstan dan kreatif mengenai real demands dari organisasi
  1. Margaret Wheatley merupakan tokoh yang juga berkontribusi dalam dalam bidang “learning organization”. Wheatley menyarankan manajemen untuk mengadopsi ide mengintegrasikan perkumpulan/kelompok  untuk perkembangan organisasi. Wheatley juga menawarkan pemikirannya untuk mengembangkan pandangan baru mengenai pengembangan organisasi yaitu:
    1. Segala sesuatu adalah proses pencarian dan penciptaan (kreasi)yang konstan.
    2. Hidup menggunakan kekacauan untuk mendapatkan solusi yang terarah secara baik
    3. Hidup bermaksud untuk menemukan hal-hal apa yang berjalan bukan apa yang benar.
    4. Hidup menciptakan banyak kemungkinana yang terkait dengan kesempatan(opportunities)
    5. Hidup menarik untuk diarahkan
    6. Hidup mengatur identitas
    7. Segala seuatu berpartisipasi dalam penciptaan dan evolusi dari sekelilingnya(lingkungannya).
  1. Dobald A. Schon, berkontribusi pada bidang organizational learning.  Schon membangun model untuk menggambarkan proses dari organizational learning berdasarkan pemikiran reflection-in-action. Terdapat 4 core tema dari model ini:

(1)   konsep pencarian sebagai reflectrion-in-action

(2)   membangun learning dialectic dalam organisai

(3)   pelatihan learning mengenai bagaimana belajar(how to learn)

(4)    komitmen terhadap paradigma pendidikan yang beru yangmengajarkan praktisi magaimana untuk reflection-in-action.

Pengertian  learning organization.

Learning organization menurut Segne(1990) adalah organisasi dimana orang-orang secara berkesinambungan memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola pemikiran baru dan luas terpelihara.

menurut  Watkins dan MArsick(1992), learning organization ditandai/dicirikan oleh keterlibatan seluruh karyawan dalam proses kerjasama yang terarah, kumpulan perubahan yang mengarah pada shares value dan prinsip.

Pedler, Burgoyne, dan Boydell(1996), menyatakan bahwa learning company adalah sebuah visi dari apa yang mungkin. Bukan sesuatu yang sederhana dengan melatih individu; learning company hanya dapat terjadi sebagai hasil pembelajaran pada seluruh lapisan organisasi. Sebuah learning company adalah sebah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran bai semua anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan dirinya.

Levine(2001) menggambarkan learning organization harus memiliki beberapa karater:

(1)   organisasi mengingat dan belajar

(2)   catatan public adalah berguna dalam memutuskan proses pekerjaan dan pengambilan keputusan.

(3)   Konsep dan prinsip  dapat mengarah pada kelompok, unit organisasi,  atau komunitas, ide/gagasan yang disarankan.

(4)   Gagasan pembelajaran berbeda dengan penambahan kontribusi individu

(5)    Pembelajaran diterapkan untuk menghasilkan atau memodifikasi penempatan individu, kebijakan, proses, dan prosedur.

Dapat disimpulkan, learning organization adalah sesuatu dimana karyawan pada semua level terlibat. Sehingga orang belajar bersama dan secar berkesinambungan meningkatkan kapasitas untuk menghasilkan hasil yang benar-benar dipedulikan.

Benefits of learning organization.

Levine(2001) membuat daftar alasan untuk  bertransformasi menjadi learning organization:

(1)    sekitar 70 % usaha bisnis dalam proses usaha mendisain kembali gagal

(2)    kelompok kerja dalam abad 21 akan me-manage perubahan dalam situasi yang dinamis.

(3)    Konstruksi manajemen tradisional tidak sesuai dengan pendekatan pengembangan kerjasama untuk teknologi baru.

Salah satu keuntungan bagi organisasi dengan bertransformasi menjadi learning organization  adalah bahwa learning organization mengarahkan pada  pengembangan berkesinambungan. Dalam market yang cepat berubah, banyak terdapat gap yang ada diantara outcome organisasi dan  kebutuhan konsumen. beberapa penyelidik menemukan bahwa learning organization dapat membangun program kerjasama yang meningkatkan performansi mereka untuk mencapai kebutuhan konsumen., selain itu learning organisasi juga mengarahkan pada inovasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Ramus dan Steger(2000) yang menemukan bahwa learning organization bekerja lebih baik mendukung inovasi dan kreatifitas karyawan. Dalam pandangan ekonomi saat ini, inovasi adalah kemampuan kunci bagi organisasi untuk bertahan hidup dalam lingkungan persaingan global saat ini. Keuntungan lain bagi organisasi yang mentransformasi diri menjadi learning organization adalah membantu berdirinya komunitas. Ketika karyawan bertindak sebagai anggota  suatu komunitas, hal ini akan meningkatkan kebahagiaan/kesenangan karyawan di tempat kerja dan membawa performansi yang lebih baik bagi organisasi. Digenti (1998) menekankan bahwa ”dengan menyatukan pembelajaran intelektual dan emosional, learning community membantu perkembangan visi dari keseluruhan organisasi.-kemampuan untuk membuat seseorang memberikan dirinya secara utuh kepada organisasi”. Learning organization memberikan formula yang luarbiasa bagi kebahagiaan pekerja dengan menciptakan iklim organizational learning.

Research method

Penelitian dalam jurnal ini menggunakan :

–         signifikan level (α) 0.05,

–         confidence interval 95%,

–         power of statistic test (β)  0,08.

–         Appropriate sample size 92

–         Number of treatment level 4

Survey dilakukan peneliti terhadap 368 guru sekolah dasar diPingtung Country,Taiwan. Dengan data efektif yang diterima sejumlah 232, dan responden rate 63%.

Kuisioner penelitian yang digunakan menggunakan lima instrument, dengan masing-masing instrumentnya terdiri atas lima pertanyaan. Limainstrument tersebut adalah: learning dynamic, learning atmosphere,  organization empowerment, knowledge management,  technology application.

Research  result

Pada penelitian ini menggunakan critical value 2.5 dengan 4 poin skala. Table 2 menunjukan hasil penelitian mengenai pandangan para guru terhadap sekolah mereka sebagai learning organization di Pingtung, Taiwan. t-score pada learning dynamics, learning atmosphere, organization empowerment, knowledge management dan technology application tidak melampui critical value dari statistic tes. Dengan kata lain, guru sekolah dasar di Pingtung, Taiwan memiliki keyakinan yang kuat bahwa sekolah mereka  dapat dipertimbangkan sebagai learning organization.

Table 2 the results of elementary school teachers’ viewpoints to their schools

Section

 

Mean

t-score

Probability

learning dynamics 2.9336 16.887 0.000
learning atmosphere 3.0069 18.231 0.000
organization empowerment 2.9009 12.889 0.000
knowledge management 2.8595 12.027 0.000
technology application 2.9612 14.018 0.000
Total Learning organization Measurement 2.9324 17.637 0.000

Penelitian ini meneliti 91(39.2%) laki-laki dan 141(60.8%) perempuan, yang merupakan guru sekolah dasar Pingtung,Taiwan. Dengan menggunakan t-test, penelitian ini untuk membandingkan pandangan guru sekolah dasar berdasarkan gendernya terhadap sekolah mereka sebagai learning organization. Hasilnya t-score pada learning dynamics, learning atmosphere, organization empowerment, knowledge management dan technology application tidak melampui critical value dari statistic tes baik laki-laki maupun perempuan.

Table 3  the results of elementary school teachers’ viewpoints to their schools

by gender

Section

Male

Female

Comparison

Mean

t-score

Mean

t-score

learning dynamics 2.9890 11.586** 2.8979 12.410** 1.741
learning atmosphere 3.0571 12.066 ** 2.9745 13.726** 1.455
organization empowerment 2.9670 9.522 ** 2.8582 8.968** 1.716
knowledge management 2.8879 7.261 ** 2.8411 9.775** 0.733
technology application 3.0264 10.008** 2.9191 9.995** 1.597

*p<0.05, **p<0.01

Terdapat 44 partisipan (19.0%) graduate degrees, 188 partisipan(81.0%) bachelor’s degree atau level lebih rendah. Tes ini untuk membandingkan pada dua level pendidikan ini mengenai pandangan mereka terhadap sekolah mereka sebagai learning organization. . Hasilnya t-score pada learning dynamics, learning atmosphere, organization empowerment, knowledge management dan technology application tidak melampui critical value dari statistic tes bagi setiap grup level pendidikan.

Table 4 the results of elementary school teachers’ viewpoints to their schools

by education level

Section

Graduate

Bachelor or less

Comparison

Mean

t-score

Mean

t-score

learning dynamics 2.9182 6.805** 2.9372 15.444** 0.290
learning atmosphere 3.0091 7.399** 3.0064 16.662** 0.038
organization empowerment 2.8773 5.008** 2.9064 11.889** 0.366
knowledge management 2.8409 5.176** 2.8638 10.880** 0.301
technology application 2.8818 6.145** 2.9798 12.676** 1.168

*p<0.05, **p<0.01

Survey dilakukan terhadap 37 orang guru muda (15.9%) dengan umur kurang dari 30 tahun, 114 guru berusia 30-40 tahun(49.1%) dan 81 guru berusia lebih dari 40 tahun(34.9%).  Penelitian ini untuk memperbandingkan pandangan dari ketiga grup ini terhadap sekolah mereka sebagai learning organization. Hasilnya t-score pada learning dynamics, learning atmosphere, organization empowerment, knowledge management dan technology application tidak melampui critical value dari statistic tes untuk tiap grup usia.

Table 5 the results of elementary school teachers’ viewpoints to their schools by age

Section

Aged 0-29(A)

Aged 30-40(B)

Aged 41 & up(C)

Comparison

Mean

t-score

Mean

t-score

Mean

t-score

F-score

Sign.

learning dynamics 2.9135 7.432** 2.8667 9.407 ** 3.0370 13.504** 4.696** C>B
learning atmosphere 2.9243 7.427** 2.9544 11.179 ** 3.1185 13.203** 4.527* C>B
organization empowerment 2.8541 5.185** 2.8193 7.141 ** 3.0370 10.326** 5.416** C>B
knowledge management 2.8865 7.390** 2.7877 6.222 ** 2.9481 9.283** 3.094* C>B
technology application 2.9946 7.602** 2.8614 6.753 ** 3.0864 13.075** 5.042** C>B

*p<0.05, **p<0.01

Survey berikutnya dilakukan terhadap 47 partisipan (20.3%) yang telah mengajar kurang dari 5 tahun, 45 partisipan (19.4%) yang mengajar lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, dan 55 partisipan (23.7%) yang mengajar lebih dari 10 tahun dan kurang dari 15 tahun, dan 85 partisipan (36.6%) yang mengajar lebih dari 15 tahun.untuk memperbandingkan pandangan tiap grup terhadap sekolah mereka sebagai learning organization. Hasilnya t-score pada learning dynamics, learning atmosphere, organization empowerment, knowledge management dan technology application tidak melampui critical value dari statistic tes untuk setiap grup.

Table 6 the results of elementary school teachers’ viewpoints to their schools

 by teaching length

Section 0-4years 5-9years 10-14years 15years & up Comparison
Mean t-score Mean t-score Mean t-score Mean t-score
learning dynamics 2.8766 7.268** 2.9244 7.595** 2.9127 6.775** 2.9835 11.826** 0.853
learning atmosphere 2.9362 9.488** 3.0000 9.270** 2.9709 6.831** 3.0729 11.988** 1.267
organization empowerment 2.8128 4.850** 2.8133 6.291** 2.9091 5.895** 2.9906 8.792** 2.106
knowledge management 2.8596 6.876** 2.8400 5.748** 2.7964 4.335** 2.9106 7.689** 0.740
technology application 3.0213 7.262** 2.9156 5.067** 2.8945 6.273** 2.9953 9.090** 0.803

*p<0.05, **p<0.01

Conclusion

Berdasarkan pada data-data yang ada diperoleh beberapa fakta melalui penelitian ini.

–         Pertama, guru sekolah dasar berpikir bahwa sekolah mereka dapat dianggap sebagai learning organization di Pingtung country, Taiwan. Dalam penelitian ini, para partisipan menyakini mereka bekerja dalam learning organization dalam berbagai bagian konsep learning organization. Dengan kata lain, para guru memiliki keyakinan signifikan karena sekolah dasar ini menciptakan iklim tempat kerja yang luar biasa diPingtung Country,Taiwan.

–         Kedua, dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa gender, level pendidikan, lama mengajar, tidak mempengaruhi pandangan guru sekolah dasar terhadap sekolah meraka sebagai learning organization di Pingtung country,Taiwan. Secara umum, pada kasus yang berbeda sangat mungkin bahwa perbedaan gender dapat melahirkan perbedaan pandangan, mereka yang memiliki pendidikan yang lebih dapat memiliki vision yang berbeda dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih sedikit, demikian pula seorang yang telah bekerja lama pada suatu organisasi akan memiliki vision yang berbeda dengan yang mereka yang baru. Tetapi dalam kasus ini semua perbedaan tersebut tidak berlaku.

–         Ketiga, usia memberikan pengaruh yang besar terhadap pola pandang guru sekolah dasar dalam memandang sekolah mereka sebagai learning organization di Pingtung, Taiwan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara guru sekolah dasar yang berusia lebih dari 40 tahun dan mereka yang berusia 30-40 tahun. Perbedaan ini ditemukan dalam lima bagian konsep mengenai learning organization, tampaknya dua genersi dari guru sekolah dasar memiliki penilaian yang berbeda dalam memandang sekolah mereka sebagai learning organization di Pingtung, Taiwan.

Dengan fakta-fakta diatas maka dapat tarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. konsep  learning organization telah berhasil diadopsi untuk sekolah dasar dalam kelompok budaya Confucian seperti Taiwan, hal ini karena diasumsikan tidak terdapat perbedaan antara Pingtung Country dan Taiwan. Tidak hanya sistem sekolah dasar Taiwan yang menerima konsep learning organization, tetapi juga pemimpin pendidikan mengimplementasikannya dengan sangat baik untuk mentranformasikan sekolah dasar Taiwan menjadi learning organization dan membuat banyak kemajuan.
  2. konsep learning organization tidak memiliki definisi yang sama bagi guru sekolah dasar dengan generasi yang berbeda di Taiwan. Setiap generasi memiliki memori, pengalaman dan nilai yang berbeda.
  3. gender, level pendidikan, dan lama mengejar diidentifikasi sebagai faktor yang tidak mempengaruhi pandangan guru sekolah dasar terhadap sekolah mereka sebagai learning organization.

Saran bagi penelitian berikutnya dapat melakukan penelitian dengan mefokuskan pada bagaimana kepemimpinan menstranformasi sekolah menjadi learning organization di Taiwan. Juga dapat menganalisis kebijakan pemerintah yang membantu sekolah dasar mentransformasikan diri menjadi learning organization.atau dapat juga berfokus pada proses dari transformasinya sendiri dan bisa juga melakukan penelitian yang serupa pada institusi yang berbeda di Taiwan.

 

Reference:

Cheng, Ching-wen.(2009).  A Study Of The Current Learning organization Profile To Elementary Schools At Pingtung Country, Taiwan. The Journal of American Academy of Business, Cambridge. 15(1).183-188.

Fard H.D.,Rostamy A.A.A., Taghiloo H.,(2009). How Types of Organisational Cultures Contribute in Shaping Learning Organisation. Singapore Management Review31, (1) pg. 49.

Robbins&Jugde., Organizational behavior. Twelfth edition. Pearson International edition. 2007


[1] Robbins&Jugde., Organizational behavior. Twelfth edition. Pearson International edition. 2007

 

By Karmagatri Dwipayana